Thursday, December 23, 2010

Bromo Now and Then


Gunung Bromo beraksi. Luapan abu vulkanik bertandang ke rumah penduduk sekitar. Hotel-hotel pun tutup. Wisata Bromo libur.

I really do miss Bromo...

(Gunung Bromo, Jawa Timur - 2007)

Sunday, December 12, 2010

Jalan-jalan ke Kampung Orang Arab


Masjid An Nawier

Sudah berapa kali Anda melewati kawasan Pekojan, Tambora, Jakarta Barat? Bisa jadi jawabannya adalah sudah sangat sering. Tapi, tahukah Anda kawasan ini dulunya adalah kampung orang Arab pada masa kolonial Belanda. Kala itu VOC menetapkan kebijakan Wijkstelsel, yaitu dengan menaruh orang di suatu kawasan berdasarkan etnis. Etnis Tionghoa dikumpulkan di Glodok, sedangkan orang Arab ditempatkan di Pekojan.

Komunitas Jelajah Budaya adalah salah satu komunitas yang beberapa kali mengadakan tur sejarah mengelilingi kawasan Pekojan. Di kawasan ini Anda bisa mampir ke beberapa masjid tua yang sudah ada sejak masa Pemerintah Hindia Belanda. Kartum Setiawan dari Komunitas Jelajah Budaya menjelaskan bahwa berdasarkan beberapa literatur, nama Pekojan berasal dari kata Khoja atau Kaja. Khoja adalah daerah di India yang penduduknya bekerja sebagai pedagang dan memeluk agama Islam.

Seorang peneliti Belanda bernama Prof Van de Berg melakukan penelitian mengenai kampung ini. Penelitian tersebut tertuang dalam buku Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara. Di buku ini ia menyebutkan bahwa pada mulanya orang-orang Bengali atau Koja dari India yang bermukim di Pekojan. Akibat kebijakan Wijkstelsel, etnis Arab yang berasal dari Hadramaut atau Yaman Selatan mendiami Pekojan. Selain kebijakan Wijkstelsel, VOC juga memberlakukan politik Pasenstelsel. Dengan sistem ini, penduduk Pekojan yang akan ke tempat lain harus membawa kartu pas jalan.

Karena daerah Pekojan pada masa itu dihuni mayoritas penduduk Islam, tak heran banyak masjid tua bisa Anda temui di sini. Untuk melakukan tur menapak tilas sekaligus ziarah ke masjid-masjid kawasan ini, Anda bisa memulai perjalanan dari Fatahillah sebagai tempat strategis. Lalu Anda berjalan ke arah Sungai Kali Besar, kemudian melewati Pasar Pagi Lama dan tiba di Jalan Pejagalan. Tempat pertama yang bisa Anda datangi adalah Masjid Al Anshor.

Masjid Al Anshor

Masjid ini dibangun tahun 1648. Awalnya masjid ini hanyalah sebuah surau. Ada tiga buah makam di belakang masjid ini. Kisah tentang makam siapakah itu masih simpang siur. Kartum sempat bertanya kepada pengelola masjid bahwa ada kemungkinan mereka adalah orang India yang mendirikan masjid tersebut. Namun, untuk sejarah tertulis, belum ada catatan tentang mereka. Untuk mencapai lokasi ini, Anda harus melewati gang-gang kecil dan terletak di sudut gang.

Masjid Ar Raudah

Masjid Ar Raudah ini tadinya adalah tempat Jamiatul Khair (Perkumpulan Kebaikan) yang berperan dalam penyebaran Islam. Beberapa pemuda Islam Pekojan yang mendirikan Jamiatul Khair pada tahun 1901. Pemerintah Hindia Belanda awalnya mencurigai perkumpulan tersebut. Namun, pada akhirnya mengabulkan permohonan Jamiatul Khair untuk diakui sebagai organisasi pada tahun 1905. Saat ini tempat berdirinya Jamiatul Khair kira-kira berada di Jalan Pekojan II. Bangunan masjid tampak bergaya campuran Betawi, Arab, dan Belanda. Jendela dan pintu dengan dua daun khas Belanda berpadu dengan teralis besi meliuk khas Betawi. Bahkan pengelola masjid dan masyarakat sekitar tidak tahu sejak kapan tempat perkumpulan tersebut berubah fungsi menjadi masjid.

Masjid An Nawier

Masjid ini merupakan masjid terbesar di Jakarta Barat. Bangunan yang berdiri tahun 1760 ini bisa menampung hingga 1.000 orang. Ciri unik masjid ini adalah menara yang menjulang setinggi 17 meter bagaikan mercusuar. Dulu pada saat teknologi pengeras suara belum ada, adzan dikumandangkan dari menara dan bisa terdengar di seluruh pelosok kampung.

Bandingkan dengan kondisi sekarang, yang walau sudah mengunakan pengeras suara pun adzan terdengar sayup-sayup. Kalah bersaing dengan polusi suara dari kendaraan Ibu Kota. Jika beruntung, Anda bisa naik ke menara tersebut dan melihat pemandangan kota Jakarta.

Keunikan lain dari masjid ini adalah 33 tiang yang terdapat di ruangan shalat sebagai simbol wirid setelah shalat lima waktu. Anda juga bisa menemukan makam Syarifah Fatmah binti Husein Alaydrus yang mendapat julukan "Jide" atau nenek kecil. Banyak orang datang khusus untuk berziarah ke makam tersebut. Di bagian mihrab masjid terdapat mimbar berukir dari kayu yang merupakan hadiah dari Sultan Pontianak pada abad ke-18.

Jembatan Kambing

Jembatan sempit ini membelah Kali Angke. Namanya terdengar aneh, tapi nama ini merupakan pemberian warga setempat sejak zaman dulu. Menurut cerita, kambing-kambing yang akan dikurbankan atau dibawa ke tempat penjagalan akan melewati jembatan ini terlebih dahulu. Anda bisa menemukan sebuah jalan bernama Jalan Pejagalan yang berada di dekat Pekojan. Sampai saat ini di samping kali masih terdapat pedagang yang berjualan kambing.

Masjid Langgar Tinggi

Jika berjalan sedikit dari Jembatan Kambing dengan menyusuri tepi Kali Angke, Anda akan menemukan Masjid Langgar Tinggi. Masjid tua ini terbuat dari kayu dan dibangun tahun 1829. Masjid sederhana dengan bentuk memanjang tersebut berada di lantai dua. Sementara di bawahnya terdapat deretan toko minyak wangi. Menurut Kartum, toko minyak wangi ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Pada masa itu para jemaah mengambil air wudu dari Kali Angke. Tentu saja saat itu airnya masih jernih.

Pada masa kolonial Belanda, di Pekojan hanya terdapat segelintir orang Tionghoa. Namun, kini mayoritas penghuninya malahan berasal dari etnis Tionghoa. Sebagian besar orang Arab sudah berpindah ke selatan, seperti daerah Tanah Abang dan Kwitang. Beberapa rumah di kawasan ini memang sudah bergaya modern. Tapi, ada pula rumah-rumah yang masih bergaya perpaduan Arab, Betawi, dan kolonial Belanda. Di dekat Masjid An Nawier terdapat deretan rumah-rumah yang masih bergaya Arab dan penghuninya berasal dari etnis Arab.

Salah satu peserta rombongan Komunitas Jelajah Budaya bernama Anna Anita mengaku tahu acara jalan-jalan tersebut dari Kompas.com. "Favorit saya sewaktu di Masjid An Nawier. Sayang tidak bisa naik ke menara," katanya.

Selain ikut dalam rombongan komunitas sejarah, Anda bisa juga berjalan kaki sendiri. Tapi, siapkan fisik Anda karena total perjalanan bisa mencapai 3 kilometer. Pilihan lain adalah dengan menyewa sepeda onthel yang banyak ditemukan di Fatahillah. Para pemilik onthel bisa menjelaskan sejarah tempat-tempat tersebut atau Anda bisa bertanya-tanya ke warga sekitar.

More detail read it at: www.travel.kompas.com


Monday, December 6, 2010

Genjot Becak Keliling Yogyakarta

Turunlah dari mobil sewaan Anda dan telusuri Yogyakarta dengan becak. Becak dan andong identik dengan Yogyakarta. Apalagi jika Anda mampir ke kawasan wisata Malioboro. Di tempat ini berjejer puluhan becak dan andong siap mengantarkan wisatawan pelesir keliling Yogyakarta. Bukan hanya wisatawan domestik, wisatawan asing pun sangat senang naik becak.

Ada beberapa rute yang bisa Anda minta ke tukang becak untuk mengantarkan Anda. Salah satunya adalah seputaran Malioboro. Biasanya wisawatan memilih rute becak seputaran Keraton. Tak ada salahnya Anda menelusuri jalur berbeda. Apalagi jika Anda baru sempat berkeliling pada sore hari. Sore itu saya diantar oleh Jumari, tukang becak yang biasa mengantar wisatawan keliling kawasan pusat kota Yogyakarta.

Start awal tentu saja Malioboro. Wisata belanja memang cocok dilakukan di sepanjang Malioboro. Aneka batik sampai makanan khas Yogyakarta bisa Anda temukan di sini. Favorit wisatawan adalah berbelanja di Pasar Beringharjo dan Toko Mirota. Kedua tempat belanja ini memiliki keasyikan tersendiri untuk berbelanja. Di Pasar Beringharjo, Anda harus pintar-pintar menawar. Sementara di Toko Mirota harganya sudah pasti. Tapi, siap-siaplah berjibaku memperebutkan baju incaran Anda. Karena jika kalah cepat, bisa-bisa orang lain yang duluan mengambilnya.

Setelah menelusuri Malioboro, becak akan membawa Anda ke Jalan Rotowijayan. Di jalan ini banyak toko-toko yang menjual kaus aspal Dagadu. Kaus Dagadu memang sudah menjadi ikon cendera mata Yogyakarta. Desain nge-pop ala anak muda tapi tetap dengan ciri khas Yogyakarta.

Setelah itu, gowesan berlanjut ke Jalan Kauman. Jalan kecil dengan sisi kanan dan kiri penjual baju-baju batik. Oleh karena itu, kawasan ini dikenal sebagai kampung batik. Tak ada salahnya Anda mampir ke Masjid Gede yang ada di Kampung Kauman. Apakah Anda telah menonton filmSang Pencerah karya sutradara Hanung Brahmantyo? Film tersebut mengangkat kehidupan KH Ahmad Dahlan. Nah, di kampung Kauman inilah KH Ahmad Dahlan mendirikan Islam Muhammadiyah. Tak heran jika kampung ini kental napas Islam. Untuk menelusuri gang-gang sempit di daerah ini, Anda harus berjalan kaki.

Perjalanan berlanjut menuju Jalan KS Tubun. Tapi, jalan ini lebih dikenal dengan Jalan Pathuk. Rasanya baru lengkap apabila mampir ke Yogyakarta dan membeli bakpia. Camilan khas Yogyakarta yang legit ini adalah kue dengan isian kacang hijau. Saat ini produk bakpia berkembang dengan aneka isian, seperti keju dan cokelat.

Menurut Jumari, Jalan Pathuk merupakan awal mula pusat pembuatan bakpia pathuk. Karena itulah, bakpia dari daerah ini diberi akhiran pathuk. Saat Anda melintasi jalan tersebut, Anda akan melihat toko-toko bakpia dengan aneka nomor seperti 25, 75, 99, dan nomor lainnya. Uniknya, tiap nomor tersebut menandakan nomor rumah tempat bakpia tersebut diproduksi.

Anda juga bisa mengunjungi tempat produksi bakpia dan melihat secara langsung proses pembuatan bakpia. Kawasan ini selalu padat dengan wisatawan yang berburu bakpia pathuksebagai oleh-oleh.

Jalan Sosrowijayan adalah perhentian selanjutnya. Kawasan ini terkenal sebagai kampung turis dan tempat favoritnya backpacker mancanegara, seperti Jalan Jaksa di Jakarta atau Jalan Poppies di Kuta Bali.

Sama seperti kampung turis pada umumnya, kawasan Sosrowijayan Wetan ini berada di jalan sempit serta memiliki aneka toko dan jasa yang memudahkan para turis. Sebut saja dari penginapan murah, rental mobil dan motor, money changer, hingga biro perjalanan. Di sini Anda bisa menemukan toko buku yang menjual aneka buku dari berbagai negara dengan harga murah. Coba pula wisata kuliner di beberapa rumah makan tradisional.

Setelah itu Jumari membawa becak kembali ke Malioboro. Beberapa jalan memang menawarkan aneka produk seperti kaus, batik, dan bakpia pathuk. Jumari dengan sopan beberapa kali meminta saya untuk masuk ke toko-toko tersebut. Namun, tak jarang, tukang becak yang mengantar wisatawan bersikap sedikit memaksa dengan harapan mereka akan berbelanja.

Jika memang Anda memiliki uang lebih, tak ada salahnya Anda berbelanja di toko-toko yang ada di Jalan Rotowijayan, Jalan Kauman, dan Jalan Pathuk. Selain Anda mendapatkan oleh-oleh, tukang becak juga akan mendapatkan komisi dari pedagang. Hitung-hitung belanja sambil berbagi rezeki.

Selain berjalan-jalan seputaran Malioboro, Anda juga bisa menyewa becak untuk diantar keliling Keraton. Nantinya becak akan membawa Anda ke area Vredenburg Fort, Alun-Alun, Keraton, Taman Sari, sampai ke Museum Kereta. Ongkos yang Anda keluarkan mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 30.000 tergantung dari jarak yang ingin Anda telusuri. Alternatif lain adalah naik andong, harganya tentu saja lebih mahal, mulai dari Rp 50.000. Jadi, naik andong jika Anda pelesir beramai-ramai.

Read this at: www.travel.kompas.com

Saturday, December 4, 2010

Ramayana Ballet


Ramayana Ballet at Candi Prambanan, Yogyakarta.
The story was taken from the epic Ramayana story.
In the picture are Rama, Shinta, and Laksamana before Shinta kidnapped by Rahwana.

Sunday, November 21, 2010

Sushi Impor Harga Lokal

Siapa bilang makan sushi menguras kantong? Coba saja mampir ke Warung Jepang Pokke di Jl. Karang Tengah Raya No. 89 K, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan. Bentuk tempat makan yang terletak di pinggir jalan ini memang mampu menipu mata. Tampilannya sangat sederhana sampai-sampai pemiliknya menyebut tempat makan ini dengan istilah 'warung'.

Tapi soal rasa, sushi dan sashimi yang merupakan menu andalan Warung Jepang Pokke tidak kalah dengan restoran sushi mewah lainnya yang ada di Jakarta. Saat Anda mampir ke tempat ini, sushi dan sashimi baru akan dibuat setelah Anda memesan. Sukandar, pemilik Warung Jepang Pokke, turun langsung dalam pembuatan sushi dan sashimi.

Menu favorit para penikmat sushi dan sashimi di rumah makan ini adalah Sashimi Salmon, Unagi Dragon, dan Crispy Roll. Selain sushidan sashimi, ada menu lain khas Jepang seperti Teppanyaki, Udon, aneka Katsu, dan berbagai minuman. Untuk minuman teman bersantap sushi tentu paling cocok adalah Teh Hijau atau Ocha. Ocha ini diimpor langsung dari Jepang."Sampai sekarang saya tidak mengandalkan orang lain. Semua menu saya buat sendiri," jelas Sukandar. Anda bisa melihat sendiri proses pembuatannya karena konter tempat Sukandar beraksi berada tepat di wilayah makan para pengunjung.

Siap-siap untuk mendengar harga dari menu-menu. Harganya hanya berkisar dari Rp 8.000 - Rp 27.000. Seperti menu Assorted Sushi seharga Rp 27.000 sudah berisi 6 jenis sushi dan Tuna Roll, cukup untuk dimakan dua orang. Saat mencicipi sushi dengan topping ikan salmon dan tuna mentah, sama sekali tidak tercium bau amis. Kesegaran ikan benar-benar terasa.

Cicipi pula menu Californian Roll yang merupakan salah satu menu dari berbagai pilihan Fusion Sushi andalan Warung Jepang Pokke. Kani stick dari kepiting dan potongan buah alpukat mentah diselimut dengan nori (lembaran tipis rumput laut) dan nasi sushi serta mayones lalu taburantobiko (telur ikan terbang) di atasnya, menghasilkan rasa gurih nan renyah di lidah. Jangan lupa dicocol di pasta wasabi yang pedas untuk menambah kenikmatan.

Walaupun Sukandar tidak pernah menginjakkan kaki Jepang, keahliannya dalam kuliner Jepang tak diragukan. Sukandar sudah ahli

membuat masakan Jepang sejak tahun 1986. Ia merintis karir di restoran-restoran Jepang dan hotel-hotel bintang lima di Jakarta. Terakhir Sukandar sudah mencapai posisi executive chef. Kejenuhan menjadi pegawai akhirnya membuat Sukandar merintis Warung Jepang Pokke.

"Modal awalnya dari mertua," cerita Sukandar sambil tertawa lepas.

Walaupun rumah makan ini baru berdiri dua tahun, tempat ini sudah sangat ramai. Baru satu tahun, usaha Sukandar sudah balik modal. Jangan coba-coba datang terlalu malam di hari Jumat, Sabtu, atau Minggu. Jika nekat, bukan saja kehabisan tapi rumah makan sudah tutup. Seringkali belum jam 8, tempat ini sudah tutup.

"Stok memang terbatas, jadi kalau habis yah tutup. Sengaja dibatasi supaya habis tiap harinya," kata Sukandar.

Hal ini juga agar kesegaran bahan baku tetap terjaga. Selain itu, bahan baku diimpor dari Jepang dan Kanada dua kali dalam seminggu. "Restoran sushi lain belum tentu mendatangkan bahan baku sesering saya," ungkapnya.

Ikan salmon didatangkan dari Kanada sementara ikan tuna, unagi (belut), dan tako (gurita) dari Jepang. Tidak hanya itu, bahkan nori, pasta wasabi, sampai mayones didatangkan dari Jepang. Hanya sayuran yang menggunakan bahan lokal. Sukandar mengaku seharinya dia bisa menghabiskan nasi sebanyak 5-7 kilogram.

Warung Jepang Pokke juga menerima katering. Konsepnya sangat unik, sebelumnya Sukandar akan menanyakan pada calon pemesan berapa bujet yang dimilikinya, baru nanti dibuatkan menu sesuai bujet tersebut. "Misalnya acara ulang tahun, saya bantu buatkan sesuai bujet. Yah, itung-itung promosi walaupun untung sedikit," celetuk Sukandar.

Jadi jika Anda ingin makan sushi ala restoran mewah di kala kantong cekak, Warung Jepang Pokke bisa menjadi pilihan Anda.

Read this at: www.travel.kompas.com

Friday, November 19, 2010

Si Nakal Kaos Cak Cuk

Kaos Cak Cuk dan Jula Juli

Ingin membeli oleh-oleh yang dapat dipakai? Mampir saja ke toko Cak Cuk di Jalan Dharmawangsa 35, Surabaya. Toko ini menjual kaos dengan desain khas Surabaya. Cak Cuk kuat di permainan kata yang nyeleneh, nakal, dan misuh. Bersiaplah terbelalak saat melihat desain-desain kaos ini. Sangat cocok untuk dijadikan oleh-oleh ke teman dekat.

Selain itu Cak Cuk juga menjual permainan Monopoli versi Surabaya, kartu remi, pin, dan gantungan kunci. Tapi jika Anda ingin kaos Surabaya dengan kata dan desain yang lebih 'sopan', Jula Juli bisa menjadi pilihan Anda. Kaos Jula Juli dijual di drug store Surabaya Plaza Hotel.

Kaos Cak Cuk

More detail story visit: www.travel.kompas.com


Oleh-oleh Keripik dari Pasar Genteng

Deretan toko di Jalan Genteng Besar

Tempat yang terletak di Jalan Genteng Besar ini memang terkenal sebagai pusat oleh-oleh di Surabaya. Selain itu, Pasar Genteng merupakan pasar tradisional yang menjual aneka kebutuhan sehari-hari dan juga pusat penjualan barang elektronik. Kawasan ini juga terkenal dengan wisata kulinernya.

Di sebelah bangunan pasar, terdapat deretan ruko yang menjual aneka makanan untuk oleh-oleh. Mulai dari kerupuk, sambal petis, dan masih banyak lainnya. Salah satu toko yang menjual aneka camilan ini adalah Toko Bhek. Beberapa produk berasal dari Malang, Sidoarjo, bahkan Gresik.

Jika Anda bingung dengan banyaknya pilihan camilan, coba beli Ledre Pisang atau Kripik Kentang Udang. Mau yang lebih unik? Beli Serat Teripang yang rasanya asin dan dimakan sebagai taburan di atas nasi. Pilihan lain Rurjuk seharga Rp 40.000 sejenis kerang laut yang manis dan gurih.


Toko Bhek

Bisa juga dibaca di: www.travel.kompas.com